BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
KONSEP MEDIK
1.
Definisi
BPH (Benign Prostatic Hypertrophy)
adalah pembesaran kelenjar prostat yang menuju ke dalam kandung kemih dan
mengakibatkan obstruksi pada saluran urine. Kondisi patologis ini lebih sering
terjadi pada laki-laki berusia setengah baya, lansia dan di atas usia 60 tahun.
(Brunner and Suddarth, 2002, hal. 1625).
BPH adalah pertumbuhan dari
nodula-nodula fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. (Sylvia A. Price, 1995,
hal. 1154).
2.
Anatomi Fisiologi (Sylvia, hal 1146, Brunner &
Suddarth, hal. 1619)
Struktur reproduksi pria terdiri
dari penis, testis dalam kantong scrotum, sistem duktus yang terdiri dari
epididimis, vas deferens, duktus ejakulatorius, dan uretra. Selain itu
reproduksi pria juga memiliki glandula asesoria yang terdiri dari vesikula
seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar bulbouretralis.
Testis bagian dalam terbagi atas
lobulus yang terdiri dari tubulus seminiferus, sel-sel Sertoli, dan sel-sel
Leydig. Produksi sperma/sperma-togenesis terjadi pada tubulus seminiferus.
Sel-sel Leydig mensekresi testosteron. Tiap-tiap testis terdapat duktus
melingkar yang disebut epididimis, dimana bagian kepalanya berhubungan dengan
duktus seminiferus (duktus untuk aliran keluar) dari testis, dan bagian ekornya
terus berlanjut ke vas deferens.
Vas deferens adalah duktus
ekskretorius testis yang membentang hingga ke duktus vesikula seminalis,
kemudian bergabung membentuk duktus ejakulatorius yang selanjutnya bergabung
dengan uretra yang merupakan saluran keluar sperma maupun urine. Kelenjar
asesoria juga mempunyai hubungan dengan sistem duktus.
Kelenjar prostat terletak tepat di
bawah leher kandung kemih dan mengelilingi uretra, serta dipotong melintang
oleh duktus ejakulatorius yang merupakan kelanjutan dari vas deferens. Fungsi
dari kelenjar prostat adalah memproduksi cairan semen berwarna putih, yang akan
membawa sperma keluar melalui penis pada saat ejakulasi. Dengan melihat letak
prostat, bila terjadi pembesaran atau gangguan sangat mempengaruhi sistem
perkemihan.
3.
Etiologi
Penyebab pasti hipertropi prostat
belum diketahui, tetapi diduga disebabkan oleh :
a.
Pengaruh usia
Dengan meningkatnya usia seseorang
terjadi penurunan kadar hormon androgen yang disertai naiknya kadar estrogen
secara relatif. Estrogen dapat meningkatkan sensitivitas jaringan prostat
terhadap androgen. Kelenjar prostat bagian peri-uretra atau sentral yang
responsif terhadap hormon estrogen akan mengalami hiperplasia.
b.
Pekerjaan
Insiden lebih besar pada mereka
yang bekerja di daerah industri karet dan kadmium atau pekerjaan dengan
aktivitas yang meningkat.
c.
Faktor hormonal
Hormon yang sangat berpengaruh
dalam pertumbuhan kelenjar prostat adalah hormon androgen yang terjadi pada
setiap usia disebut dihidrotestosteron (HDT). Bertambahnya usia, produksi
hormon androgen menurun, sehingga prostat menjadi sangat sensitif pada DHT.
Klien dengan BPH sering terjadi peningkatan estrogen, dan mungkin estrogen
merangsang HDT untuk terjadinya BPH.
4.
Patofisiologi (Brunner hal
1625)
Pembesaran kelenjar prostat terjadi
secara abnormal dengan adanya penambahan ukuran sel (hipertrofi). Lobus yang
mengalami hipertrofi akan menyumbat kolum vesikal atau uretra prostatik. Dengan
demikian akan menyebabkan pengosongan urine inkomplet atau retensi urine.
Akibatnya terjadi dilatasi ureter atau hydroureter dan ginjal (hydronefrosis)
secara bertahap. Infeksi saluran kemih/UTI dapat terjadi akibat statis urine,
dimana sebagian urine tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai
media untuk organisme inefektif.
5.
Tanda dan Gejala (Brunner hal
1625)
-
Peningkatan frekuensi berkemih
-
Nokturia
-
Rasa ingin berkemih
-
Anyang-anyangan/hesistensi
-
Abdomen tegang
-
Volume urine menurun dan harus
mengejan saat berkemih
-
Dysuria
-
Aliran urine tidak lancar
-
Dribling (urine terus menetes
setelah berkemih)
-
Retensi urine akut (jumlah
urine lebih dari 60 cc setelah berkemih)
-
Keletihan
-
Anoreksia
-
Mual, muntah
-
Rasa tidak nyaman pada
epigastrik
-
Prostat membesar dan berwarna
kemerahan
-
Azotemia (peningkatan ureum
dalam darah) dan renal failure dapat terjadi pada retensi urine kronik dan
jumlah urine residu yang banyak
6.
Test Diagnostik (Brunner hal
1625 & Lewis hal 1554)
-
Pemeriksaan fisik: palpasi
rectum à
teraba pembesaran prostat
-
Urinalisis: RBC meningkat à hematuri; WBC meningkat à infeksi, berat jenis meningkat
-
BUNM (Blood Urea Nitrogen) dan
serum kreatinin meningkat.
-
PSA (Prostat Spesific Antigen) à Untuk mengetahui adanya kanker
prostat
-
TRUS (Transrectal Ultrasound
Antigen) à untuk
mendeteksi adanya kanker prostat, aliran urine, dan systoscopy
-
Biopsi à untuk mengetahui lokasi dan kemungkinan
pertumbuhan kanker
-
Cystoureroscopy à untuk mengevakuasi obstruksi leher
kandung kemih
7.
Therapy dan Pengelolaan Medik
(Lewis hal 1554 – 1558 & Brunner hal 1626)
a.
Konservatif
-
Therapy obat hormonal untuk
mengurangi hiperplasia jaringan dengan menurunkan androgen:
Ø Finasteride (proscar) block, enzim 5a – reduktakse à terbukti efektif dalam mencegah perubahan testosteron menjadi
dihidrotestosteron. Efek sampingnya: ginekomastia, disfungsi erektil, dan wajah
kemerahan.
Ø Penyekat reseptor alfa adrenergik, misalnya: minipres, cardura,
hytrin, dan flamox.
à Melemaskan otot halus kolum kandung
kemih dan prostat
-
Kateterisasi (menetap atau
sementara) à
gunakan kateter lembut sesuai dengan instruksi medis.
-
Antibiotika à bila ada infeksi
-
Intake cairan ditingkatkan
b.
Pembedahan/Prostatectomy
Indikasi dilakukan pembedahan
adalah:
-
Gangguan rasa nyaman yang hebat
-
Obstruksi urine yang lama
-
Retensi urine akut dan kronik
karena obstruksi dengan penyumbatan yang irreversibel yang dapat menyebabkan
hydronephrosis
-
Infeksi saluran kemih
Ada 4 cara tindakan prostatectomy à tergantung pada kondisi klien dan
masalah spesifik yang harus dibedah.
Ø TURP (Trans Urethral Resection Prostatectomy)
Tindakan ini dilakukan untuk
mengangkat jaringan prostat melalui uretra. Prosedur yang paling umum ini dapat
dilakukan melalui endoskopi. Instrumen bedah dimasukkan secara langsung melalui
uretra ke dalam prostat, yang kemudian dapat dilihat secara langsung.
Keuntungannya: menghindari insisi
abdomen, lebih aman pada pasien dengan risiko bedah, hospitalisasi, dan periode
penyembuhan lebih cepat, angkat morbiditas lebih rendah dan menimbulkan sedikit
nyeri.
Kerugiannya: membutuhkan dokter
bedah yang ahli, trauma rectal, dan dapat terjadi striktur dan perdarahan lama
dapat terjadi.
Ø Suprapubik prostatectomy
Adalah salah satu metode
mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Insisi dibuat pada garis tengah bawah abdomen sampai kandung kemih dan
mengarah ke prostat.
Keuntungannya: secara teknis sederhana memberikan area
eksplorasi yang lebih luas, memungkinkan pengobatan lesi kandung kemih.
Kerugiannya: membutuhkan pembedahan melalui kandung
kemih, urine dapat bocor di sekitar tuba suprapubis dan pemulihan mungkin lama.
Ø Retropubic Prostatectomy
Tindakan ini digunakan untuk
menentukan lokasi massa yang besar pada daerah pelvis. Pembedahan dilakukan
dengan membuat insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungannya: menghindari insisi
ke dalam kandung kemih, memungkinkan dokter bedah untuk melihat dan mengontrol
perdarahan, periode pemulihan lebih singkat.
Kerugiannya: tidak dapat mengobati
penyakit kandung kemih yang berkaitan.
Ø Perineal Prostatectomy
Adalah mengangkat kelenjar melalui
suatu insisi dalam perineum. Insisi dilakukan di antara scrotum dan anus.
Keuntungannya: memberikan pendekatan anatomis langsung, angkat mortalitas
rendah, insiden shock lebih rendah, ideal bagi pasien dengan prostat yang
besar.
Kerugiannya: insiden impotensi dan inkontinensia urine
pasca operatif tinggi, kemungkinan kerusakan pada rektum dan sphincter
eksternal, potensial terhadap infeksi lebih besar.
8.
Komplikasi (Brunner hal 1629)
Ø Pre Operasi
-
Pyelonefritis
-
Hydronefritis
-
Uremia
-
UTI
-
Gagal ginjal
Ø Post Operasi
-
Perdarahan
-
Infeksi
-
Inkontinensia urine
-
Gangguan ereksi dan disfungsi
seksual
-
Obstruksi kateter
-
Epididimitis
B.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian (Brunner 1629 & Lewis hal 1559 dan Doengoes hal 671)
a.
Pola persepsi kesehatan dan
pemeliharaan kesehatan
-
Riwayat penyakit ginjal,
jantung, kanker
-
Pernah mendapat pengobatan dan
perawatan BPH
-
Riwayat pemakaian estrogen dan
progesteron
-
Riwayat keluarga: kanker,
hipertensi, ginjal
-
Penggunaan antibiotik
-
Pengetahuan pasien tentang
kondisinya
b.
Pola nutrisi dan metabolik
-
Penurunan BB
-
Anoreksia
-
Mual, muntah
-
Konjungtiva pucat/anemik
c.
Pola eliminasi
-
Penurunan dorongan aliran urine
dan tidak lancar
-
Nokturia
-
Disuria
-
Retensi urine
-
Hematuria
-
Sering berkemih
-
Anyang-anyangan
-
Urine menetes
-
Inkontinensia urine
d.
Pola aktivitas dan latihan
-
Keluhan lemas, cepat lelah, tidak
bergairah dalam beraktivitas
-
Penurunan aktivitas karena
nyeri
e.
Pola tidur dan istirahat
-
Tidur terganggu karena nyeri,
nokturia
f.
Pola persepsi sensori dan
kognitif
-
Rasa tidak nyaman pada
abdomen/suprapubis
-
Nyeri pinggang
-
Nyeri punggung
-
Nyeri tekan kandung kemih
-
Dysuria
-
Perasaan tidak puas berkemih
g.
Pola persepsi dan konsep diri
-
Cemas dan takut karena
perubahan body image atau impoten karena syaraf yang terpotong
-
Putus asa, tidak bersemangat,
dan harga diri rendah
h.
Pola reproduksi dan seksual
-
Adanya pembesaran dan nyeri
tekan prostat
-
Gangguan ereksi/penurunan
kekuatan kontraksi ejakulasi
-
Takut inkontinensia/menetes
selama hubungan intim
i.
Pola peran dan hubungan dengan
sesama
-
Menyatakan perubahan gambaran
diri
-
Menyatakan pengalaman dengan
orang lain karena pembedahan
j.
Pola mekanisme koping dan
toleransi terhadap stres
-
Takut/cemas sehubungan dengan
rencana operasi
-
Depresi
k.
Pola nilai dan sistem
kepercayaan
-
Denial akan diagnosa
-
Menerima penyakitnya
2.
Diagnosa Keperawatan (Lewis, hal 1560 dan Doengoes hal 673)
a.
Pre-Operasi
1)
Retensi urine b.d. pembesaran
kelenjar prostat.
2)
Nyeri b.d. distensi kandung
kemih.
3)
Risiko tinggi infeksi b.d.
pemasangan kateter dan urine statis.
4)
Kecemasan b.d. potensial/aktual
disfungsi seksual, kemungkinan prosedur bedah.
b.
Post-Operasi
1)
Nyeri b.d. insisi bedah,
pemasangan kateter spasme kandung kemih.
2)
Perubahan eliminasi urine:
inkontinensia urine b.d. trauma leher kandung kemih, kehilangan kontrol
sphincter.
3)
Risiko tinggi infeksi b.d.
insisi bedah, pemasangan kateter, irigasi kandung kemih.
4)
Risiko tinggi kekurangan volume
cairan b.d. kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan cairan pre
operasi.
3.
Perencanaan Keperawatan (Doengoes hal 673 dan Lewis hal 1560)
a.
Pre-Operasi
1)
Retensi urine b.d. pembesaran
kelenjar prostat.
HYD:
-
Pengosongan kandung kemih
adekuat yang ditandai dengan tidak adanya tanda distensi dari kandung kemih.
-
Jumlah urine sisa kurang dari
50 ml.
Intervensi:
Ø Catat intake dan output cairan tiap 4-8 jam.
R/: Mengidentifikasi
keseimbangan cairan.
Ø Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan.
R/: Meminimalkan
retensi urine dan distensi yang berlebihan pada kandung kemih.
Ø Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
R/: Mengevaluasi
obstruksi dan pilihan intervensi.
Ø Palpasi kandung kemih/area suprapubik tiap ganti shift.
R/: Mengetahui
distensi kandung kemih.
Ø Observasi TTV tiap 4 jam.
R/: Mengetahui
keadekuatan fungsi ginjal.
Ø Pasang kateter sesuai dengan instruksi medik.
R/: Dengan
pemasangan kateter, urine keluar dengan lancar.
Ø Berikan obat antispasmodik sesuai indikasi.
R/: Menghilangkan
spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter.
2)
Nyeri b.d. distensi kandung
kemih.
HYD:
-
Nyeri berkurang sampai dengan
hilang, yang ditandai dengan ekspresi wajah tampak rileks.
Intervensi:
Ø Bantu eliminasi urine dengan pemasangan kateter.
R/: Mengurangi
nyeri dengan cara drainase.
Ø Monitor intake-output.
R/: Dapat
mengidentifikasi keadekuatan cairan.
Ø Perkusi distensi kandung kemih.
R/: Memvalidasi
kekosongan dari kandung kemih.
Ø Berikan posisi yang nyaman.
R/: Dengan
posisi yang nyaman dapat mengurangi nyeri.
Ø Pertahankan kepatenan kateter.
R/: Memastikan
kelancaran aliran urine.
Ø Kaji karakteristik nyeri (sifat, intensitas, lokasi, lama).
R/: Mengetahui
karakteristik nyeri sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya.
Ø Ajarkan teknik relaksasi: tarik nafas dalam.
R/: Mengurangi
nyeri.
Ø Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgetik.
R/: Mengurangi
nyeri.
3)
Risiko tinggi infeksi b.d.
pemasangan kateter dan urine statis.
HYD: Tidak terjadi infeksi yang
ditandai dengan:
-
Urine kultur berwarna kuning
jernih.
-
Temperatur tubuh dalam batas
normal (36-37oC)
Intervensi:
Ø Observasi suhu tubuh tiap 4-6 jam.
R/: Sebagai
identifikasi tanda-tanda infeksi.
Ø Lakukan pemeriksaan urine kultur.
R/: Mengetahui
adanya penyebab dari infeksi.
Ø Berikan pasien minum yang banyak bila tidak ada kontraindikasi.
R/: Cairan
dapat mencegah statis dan delusi urine.
Ø Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter.
R/: Meminimalkan
risiko adanya organisme infeksius.
Ø Observasi warna dan karakteristik urine.
R/: Mengidentifikasi
obstruksi dan menentukan intervensi.
4)
Kecemasan b.d. potensial/aktual
disfungsi seksual, kemungkinan prosedur bedah.
HYD:
-
Kecemasan berkurang sampai
dengan hilang.
-
Pasien tampak lebih tenang.
Intervensi:
Ø Berikan penyuluhan post operasi.
R/: Menyediakan
informasi b.d. rutinitas pre dan post operasi.
Ø Berikan informasi dan penjelasan tentang fungsi seksual, membenarkan
pengertian yang salah.
R/: Memberikan
intervensi yang sesuai.
Ø Beri kesempatan kepada pasien untuk bertanya tentang masalah
pribadi.
R/: Situasi
yang nyaman membuat pasien terbuka.
Ø Berikan informasi tentang ejakulasi dini.
R/: Hal
ini sering terjadi pada prostatectomy dan tidak membahayakan karena cairan akan
dibuang oleh urine berikutnya.
b.
Post-Operasi
1)
Nyeri b.d. insisi bedah,
pemasangan kateter spasme kandung kemih.
HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang.
-
Klien tampak rileks.
-
Klien dapat tidur/istirahat
dengan nyenyak.
Intervensi:
Ø Pertahankan kepatenan kateter.
R/: Clots
dapat menyebabkan obstruksi aliran urine sehingga terjadi distensi/spasme
kandung kemih.
Ø Irigasi kateter bila ada clots.
R/: Urine
dapat mengalir dengan lancar.
Ø Kalau perlu berikan belladona dan opium suppositoria sesuai indikasi
dokter.
R/: Mengurangi
nyeri dan menurunkan spasme.
Ø Ajarkan teknik relaksasi bila ada nyeri/
R/: Teknik
relaksasi dapat mengurangi nyeri.
Ø Kaji karakteristik nyeri (lokasi dan intensitas).
R/: Menentukan
intervensi selanjutnya.
2)
Perubahan eliminasi urine:
inkontinensia urine b.d. trauma leher kandung kemih, kehilangan kontrol
sphincter.
HYD: Eliminasi urine kembali normal.
-
Tidak ada retensi urine.
-
Dribling berkurang sampai
dengan hilang.
Intervensi:
Ø Ajarkan pasien untuk latihan kegel.
R/: Latihan
kegel dapat memperkuat tonus sphincter.
Ø Berikan banyak minum bila tidak ada kontraindikasi.
R/: Mempertahankan
hidrasi dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
Ø Kaji pengetahuan urine per kateter.
R/: Indikator
keadekuatan cairan yang keluar.
Ø Klem kateter tiap 4 jam sekali selama 12 menit.
R/: Kesiapan
kandung kemih dan refleks berkemih spontan bila kateter dilepas.
3)
Risiko tinggi infeksi b.d.
insisi bedah, pemasangan kateter, irigasi kandung kemih.
HYD: Tidak terjadi infeksi.
-
TTV dalam batas normal.
Intervensi:
Ø Observasi TTV tiap 4-6 jam.
R/: Perubahan
TTV dapat mengidentifikasi adanya infeksi.
Ø Anjurkan pasien banyak minum bila tidak ada kontraindikasi.
R/: Mempertahankan
aliran dan delusi urine.
Ø Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter.
R/: Meminimalkan
kontaminasi silang.
Ø Kaji apakah ada demam, diaphoresis, kurang cairan.
R/: Memastikan
jika terjadi faktor risiko/tanda dan gejala infeksi.
Ø Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antibiotika.
R/: Antibiotika
dapat menghambat dan mengontrol pertumbuhan mikroorganisme.
4)
Risiko tinggi kekurangan volume
cairan b.d. kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan cairan pre
operasi.
HYD: Tidak terjadi kekurangan
volume cairan.
-
Hidrasi adekuat.
-
Aliran urine adekuat.
Intervensi:
Ø Catat intake dan output cairan.
R/: Indikator
keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian cairan.
Ø Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan yang berlebih.
R/: Perdarahan
mungkin terjadi setelah 24 jam post operasi.
Ø Evaluasi warna dan konsistensi urine.
R/: Identifikasi
adanya perdarahan yang membutuhkan intervensi lanjut.
Ø Observasi TTV tiap 4-6 jam.
R/: Indikator
adanya perdarahan dengan perubahan tanda-tanda vital.
Ø Berikan intake cairan + 3000 cc/hari kecuali bila ada
kontraindikasi.
R/: Membilas
ginjal dan kandung kemih dari bakteri.
5)
Kurang pengetahuan pasien
berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit, pengobatan dan
perawatan di rumah.
HYD: Pasien
dan keluarga mengetahui dan mengerti tentang proses penyakit, pengobatan, dan
perawatan di rumah.
Intervensi:
Ø Kaji pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
R/: Mempermudah
dalam pemberian informasi pada pasien dan keluarga.
Ø Jelaskan pada pasien tentang penyakitnya.
R/: Menambah
pengetahuan pasien.
Ø Beri kesempatan pada pasien untuk bertanya mengenai hal yang tidak
diketahui.
R/: Meningkatkan
kepercayaan klien pada perawat.
4.
Discharge Planning (Lewis 2000 hal 1562)
-
Perhatikan bila terjadi
inkontinensia urine dan segera periksa ke dokter.
-
Perhatikan pemasukan cairan 2-3
liter/hari.
-
Observasi tanda dan gejala dari
jalannya urine dan luka infeksi.
-
Cegah konstipasi.
-
Hindari mengangkat beban berat
(lebih dari 4,5 kg).
-
Jangan mengemudi atau melakukan
hubungan seksual untuk 6 minggu setelah operasi.
-
Jaga kepatenan kateter untuk
berada pada tempatnya bila masih menggunakan.
-
Hindari beraktivitas yang
berlebihan.
-
Perhatikan diit untuk
menurunkan BB dan cegah minum minuman beralkohol, kopi dan teh.
-
Minum obat secara teratur
sesuai instruksi dokter.
-
Kontrol kembali sesuai dan
tepat waktu yang sudah ditentukan.
-
Memperhatikan kebersihan alat
genetalia.
C. PATOFLOWDIAGRAM
Penyebab
pasti belum diketahui
Diduga: - Faktor usia
-
Akumulasi
berlebihan dari Dehydroxytestosteron
-
Stimulasi
rangsangan estrogen
-
Kerja
hormon pertumbuhan
Pembesaran
kelenjar prostat
Menyumbat
kolum vesikal/uretra prostatik
Pengosongan
urine inkomplet/retensi urine à DP1.
Retensi urin
BAB III
PENGAMATAN KASUS
Pengamatan
kasus dilakukan pada Tn. M berusia 58 tahun bersuku Flores. Pasien seorang guru
dan aktif dalam kepartaian. Pasien seorang ayah dari tiga orang anak. Pasien
masuk rumah sakit Sint Carolus dirawat di unit Lukas Km. 66-1 sejak tanggal 29 Januari 2004, dengan
diagnosa masuk Hematuri dan diagnosa saat pengkajian Post TUR hari ketiga a/i hipertropi
prostat, dengan keluhan utama pada saat masuk pasien mengeluh sejak + 7
hari yang lalu kencing tidak lancar, air kencing berwarna merah seperti darah,
BAK cukup banyak, kadang menetes tidak terkontrol, rasa nyeri saat berkemih,
kandung kemih terasa penuh, tidak puas saat berkemih sampai tidak bisa berkemih
lagi. Lalu pasien berobat ke dokter praktek dan dianjurkan untuk dirawat dan
rencana operasi TUR.
Pada saat
pengkajian keadaan umum tampak sakit sedang ke ringan, kesadaran pasien compos
mentis dan dari hasil pemeriksaan fisik terhadap klien diperoleh data-data
sebagai berikut: tanda-tanda vital S: 365 oC per axilla, TD : 150/80
milimeter air raksa, N : 85 x/menit, HR : 90 x/menit, P : 20 x/menit, BB : 73
kg, TB : 162 cm, IMT : 27,65 dengan kesimpulan berat badan berlebih. Pasien
sudah dilakukan Op TUR, buli-buli asal jaringan prostat, tidak memakai kateter
lagi, urine warna kuning jernih, sudah mobilisasi jalan dan pasien mengeluh
bila berkemih tidak nyeri lagi tetapi ada rasa tidak puas/tidak terlampias,
berkemih menjadi semakin sering dan perut bagian bawah terasa keras, kadang
berkemih atau tidak berkemih ujung penis terasa perih. Pasien mengatakan
sebelumnya pernah operasi TUR pada tahun 2001 dan dinyatakan sembuh dan saat
ini berulang kembali. Personal hygiene sudah mandiri.
Dari hasil
pemeriksaan diagnostik didapatkan :
Hasil lab
tanggal 1 Pebruari 2004; Hb : 10,4 g/dl, Ht : 30%.
Tanggal 31 Januari 2004 : Hb
: 9,5 g/dl, Ht : 30%, Leukosit : 11.800/ul, Trombosit : 251.000/ul.
Tanggal 30 Januari 2004 : Hb
: 9,2 g/dl, Ht : 29%, Leukosit : 9.500/ul, Trombosit: 233.000/ul, Natrium : 132
milimol per liter, Kalium : 3,2milimol oer liter .Tanggal 29 Januari 2004 : Hasil
USG, kesimpulan : suspek blood clot di kandung kemih.
Hasil
Ro : tidak tampak kelainan di paru, cor normal, sinus dan diafragma baik.
Diit :
biasa
Pasien
mendapat therapi :
-
Transamin 3x1 tab
-
Gastridin 3x1 tab
-
KSR 3x1 tab
-
Panadol 4x1 tab
-
Nifedipin 3x10 mg
Masalah
yang ditemukan pada saat pengkajian adalah gangguan pola eliminasi urinaria ,
Resiko tinggi infeksi saluran perkemihan, Resiko tinggi terjadinya perdarahan
dan kurang pengetahuan pasien tentang post pembedahan,Tindakan keperawatan
untuk masalah yang ada pada pasien ini adalah : Megkaji pola berkemih pasien
(frekuensi, warna dan jumlah urine yang keluar, mengobservasi tanda-tanda
vital, monitor intake dan output, memberikan
penyuluhan dan memberikan terapi sesuai instruksi dokter.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Setelah penulis
melakukan pengamatan kasus secara langsung selama kurang lebih satu hari pada
Bapak M dengan Post TUR hari ke-3 atas indikasi hipertropi prostat, bila
dibandingkan dengan teori didapat di literatur dan pelajaran didapat di bangku
kuliah maka penulis menemukan ada beberapa persamaan dan perbedaan yaitu :
A. Pengkajian
Dari pengkajian, penyebab BPH belum diketahui kemungkinan karena
adanya gangguan hormonal, usia, pekerjaan. Dari tanda dan gejala sama dengan
teori yaitu didapat pasien tidak terlampias saat berkemih dan kencing
tersendat-sendat, urine berwarna merah seperti darah, nyeri saat berkemih,
kencing sering dan sedikit sampai tidak dapat berkemih, tanda dan gejala di
atas sama dengan teori. Pada saat pengkajian pasien sudah dilakukan pembedahan
TUR hari ke-3, aff kateter hari pertama. Ditemukan pasien mengeluh kencing
tidak terlampias, kencing sering tapi sedikit, kemungkinan ini dikarenakan
adanya tanda keengganan tekanan dan depresi karena tidak bisa mencapai kontrol
kandung kemih setelah lepas kateter. Pasien mengeluh nyeri pada abdomen ini
karena adanya distensi abdomen ditandai dengan palpasi teraba keras pada
kandung kemih. Sedangkan komplikasi paska pembedahan tidak terjadi pada pasien
ini seperti perdarahan, syok, infeksi, inkontinensia, epididimitis tidak
ditemukan. Tetapi kemungkinan besar dapat terjadi, karena pasien Post TUR hari
ke-3 dan terdapat distensi pada abdomen serta tidak terlampias bila berkemih.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ada pada teori Post TUR terdapat 6
masalah, yaitu : nyeri, perubahan pola eliminasi urine, resti infeksi, resti
kekurangan volume cairan, resti perdarahan dan kurang pengetahuan perawatan
paska pembedahan. Dari keenam masalah teori tersebut ada 4 masalah yang sama
dengan kasus yang diamati yaitu perubahan eliminasi urine, resiko tinggi
infeksi, resiko tinggi perdarahan dan kurang pengetahuan perawatan post
pembedahan. Untuk dua masalah resiko tinggi infeksi dan resiko perdarahan pada
pasien belum terjadi, kemungkinan besar dapat terjadi. Perbedaannya di teori
ditemukan adanya masalah nyeri sehubungan dengan tindakan pembedahan sedangkan
pada pasien masalah ini ditemukan. Hal ini disebabkan karena sudah tiga hari
post operasi dan pasien sudah mengatakan sudah tidak merasakan nyeri lagi.
C. Perencanaan
Perencanaan yang disusun disesuaikan dengan tingkat patologis yang
terjadi pada pasien. Penekanan yang lebih ditujukan pada masalah perubahan pola
eliminasi, resiko infeksi, dan resiko perdarahan. Meskipun masalah ini masih
beresiko namun kemungkinan besar dapat muncul karena pasien masih mengeluh
kencing tidak terlampias dan ditandai dengan distensi pada abdomen. Tanpa
mengabaikan masalah kurang pengetahuan setelah tindakan pembedahan karena jika
masalah ini tidak ditangani maka pasien akan tetap melakukan gaya hidup yang
salah yang dapat mempercepat penyakit ini berulang kembali.
D. Pelaksanaan
Perencanaan yang telah disusun sebagian besar telah dilaksanakan
diantaranya : mengobservasi tanda-tanda vital, mengkaji pola eliminasi urine
(warna, frekuensi, dan jumlah), dan mengobservasi tanda-tanda perdarahan dan
infeksi, menganjurkan pasien untuk meningkatkan pemasukan cairan kurang lebih 2
liter/hari karena pada pasien harus diperhatikan karena output lebih banyak
dari intake, menganjurkan pasien untuk tidak mengangkat beban berat, tidak
menahan untuk berkemih dan tidak mengejan saat bak.
E. Evaluasi
Untuk evaluasi, setelah penulis melakukan tindakan keperawatan
berdasarkan masalah yang muncul pada Tn. M bahwa gangguan pola eliminasi urine
masih mungkin terjadi karena pasien mengeluh tidak terlampias saat berkemih dan
kencing sering dan sedikit, terdapatnya distensi abdomen sehingga menimbulkan
nyeri. Maka dari itu penanganan dan pengawasan serta perawatan lebih lanjut
diserahkan pada perawat karena keterbatasan waktu. Untuk tanda-tanda infeksi
kemungkinan dapat terjadi karena tampak di ujung penis agak kemerah-merahan.
Untuk resiko perdarahan tidak terjadi karena urine berwarna kuning jernih dan
tidak terdapat tanda-tanda perdarahan karena pasien diberikan terapi oral.
Untuk pengetahuan pasien, bertambah tentang penanganan penyakit hipertropi
prostat khususnya di rumah.
BAB V
KESIMPULAN
Hipertropi
prostat yang dialami TN. M adalah karena berulang kembali penyakitnya di dapat
TN. M pernah operasi TUR pada tahun 2001. Hal ini mungkin saja terjadi karena
BPH merupakan proses patologis yang mungkin dapat saja berulang kembali.
Penyebabnya belum diketahui karena faktor usia, gangguan hormonal dan
pekerjaan. Tanda dan gejala yang khas adalah adanya gangguan pada sistem
perkemihan, yaitu terjadi resistensi urine, hematuria, disuria, nokturia dan
urine menetes setelah berkemih. Pengobatan yang dilakukan untuk penderita BPH
ini adalah tindakan pembedahan TUR (Transurethra Resection) dan hal yang
mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi, trombus, epididimitis,
inkontinensia, berkemih tidak lampias mengakibatkan distensi abdomen sehingga
timbul nyeri pada abdomen. Hal yang diperhatikan adalah perubahan pada pola
perkemihan dan perdarahan serta infeksi saluran perkemihan akibat pasca
pembedahan, maka sebab itu sebagai perawat profesional pasien dianjurkan
setelah post op :
·
Tidak boleh mengedan untuk
mengeluarkan urine.
·
Harus banyak minum + 2
liter/hari bila tidak ada kontraindikasi seperti kencing tak terlampias
mengakibatkan ada residu di kandung kemih.
·
Perhatikan personal hygiene
genitalia.
·
Makan makanan tinggi serta agar
tidak terjadi konstipasi.
·
Tidak mengangkat beban berat.
·
Dalam 1-2 hari pasien
dianjurkan untuk mobilisasi jalan dan tidak banyak duduk dikarenakan dapat
mengakibatkan distensi pada abdomen.
·
Minum obat sesuai program
medik.
·
Perhatikan tanda-tanda seperti
: urine berwarna merah, sulit untuk berkemih, sakit bila berkemih segera
periksa ke dokter terdekat.
Diperlukan
kerjasama antara perawat, pasien dan keluarga untuk merawat pasien pasca
pembedahan agar tidak terulang kembali dan cepat mendapatkan penyembuhan yang
maksimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner and Suddarth, Medical Surgical Nursing.
Edition, Ninth Book II, Lippincott. 2002.
Doengoes, M.E., Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC. Jakarta.
2002.
Lewis. Medical Surgical Nursing. Fifth, Edition. Mosby.
2000.
Luckman & Sorensens. Medical Surgical Nursing: A
Psychophysiologic Approach. 4th Ed, W.B. Saunders
Company, St. Louise, 1993.
Joyce, M. Black. Medical Surgical Nursing Clinical Management For Continuity of Care.
5th edition W.B. Saunders Company. Philadelphia: 1997.
Price, Sylvia A. Patofisiologi. Edisi 4. Alih bahasa Dr. Peter. EGC. Jakarta,
1995.
terimakasih informasinya, lengkap dan membantu sekali
BalasHapushttp://acemaxsshop.com/obat-tradisional-kanker-prostat/